Friday, November 23, 2018

Hidup Dalam Rumah Kaca



Buat sebagian orang, hidup adalah “bermimpi, berjuang, dan menang.” Tapi bagi saya, hidup tidak sesederhana itu.
Saya lahir dari keluarga yang cukup besar di kota Tasikmalaya. Ayah masih memiliki gelar bangsawan dengan dua belas saudaranya, dan Kakek merupakan salah satu Mantri atau ahli kesehatan pertama dikota Tasik. Sementara Ibu adalah anak pemuka agama yang cukup disegani, tapi berbeda keyakinan dan kebudayaan dengannya. Jadi, tidak heran kalau hidup kami sering menjadi sorotan dan bahan gunjingan, entah itu positif maupun negatif.
Rasanya seperti tinggal dalam rumah kaca, saat semua yang dilakukan menjadi bumerang. Kami seperti menyuguhkan tontonan pada para tetangga, dan membiarkan mereka ikut mencampuri kehidupan kami.
Seperti drama di televisi, keluarga saya juga mengalami kesulitanan ekonomi, perselingkuhan, pertengkaran, bahkan kekerasan dalam rumah tangga. Hal ini dengan mudah menjadi bahan perbincangan orang. Semua itu bukanlah sesuatu yang membanggakan, dan sangat tidak nyaman. Terlebih saat kedua orang tua saya memutuskan untuk bercerai dan mereka meninggalkan kami. Banyak saudara dan teman yang mendadak jadi wartawan, atau berpura-pura simpatik tapi memperburuk keadaan.
Tidak ada anak yang suka kehidupan pribadinya jadi konsumsi orang banyak, begitu juga saya. Beruntung, setelah memasuki bangku SMP, kami tinggal bersama Nenek di Bandung, dan menjauh dari kota Tasik. Akhirnya saya bisa lepas dari kehidupan akuarium, tinggal jauh dari sanak saudara, dan menemani Nenek yang sudah janda. Saat itu saya berhasil lulus SMP dengan bantuan salah satu saudara. Tapi, setelah itu saya hanya memiliki dua pilihan. Berhenti sekolah, atau sekolah sambil bekerja.
Terinspirasi dari nilai-nilai perjuangan Ibu Rd. Dewi Sartika,” saya bertekad untuk bisa sekolah, sekaligus membiayai adik-adik. Untuk itu, saya harus bekerja supaya bisa mengubah nasib, meski tanpa dukungan orang tua dan sanak saudara.
Kebetulan saya memiliki tetangga yang baik, dan sudah kami anggap seperti orang tua sendiri. Waktu itu beliau masih hidup dan menjabat sebagai Polisi Militer. Beliau memberi saya pekerjaan di sebuah tempat hiburan milik kenalannya sebagai penyanyi, meskipun saya masih SMU. Beliau memperkenalkan saya sebagai anaknya, sehingga para pengunjung tidak ada yang berani mengganggu. Sebaliknya, mereka banyak membantu saya.
Jadi, gantinya belajar untuk menghadapi ujian, saya sibuk mempelajari lagu-lagu top yang sering diminta para tamu. Saya hanya ingin bertahan hidup, bisa sekolah, dan menyekolahkan adik-adik. Itu saja sudah cukup.  
Sekali lagi saya merasa seperti hidup dalam rumah kaca, karena penyanyi adalah salah satu profesi yang mengundang gunjingan. Apa yang saya lakukan dan kerjakan, tentu menjadi sorotan teman-teman dan guru di sekolah, juga para tetangga. Apalagi setelah tetangga yang baik itu meninggal, hidup bahkan terasa jadi lebih sulit. 
Pekerjaan ini menuntut saya keluar rumah saat teman-teman sebaya bersiap tidur. Tak peduli dingin dan gelapnya malam, serta tatapan aneh orang-orang dalam angkutan kota. Saya pergi sendirian dan pulang menjelang subuh, saat para tetangga masih terlelap. Karena kelelahan, saya jadi suka tertidur di kelas, kurang bisa menerima pelajaran, dan sering dimarahi guru.
Tapi, saya tidak punya banyak pilihan. Siapa lagi yang bisa menolong selain diri sendiri? Kami harus bertahan hidup dan berjuang untuk masa depan yang lebih baik. Meski saya sadar, menjadi penyanyi seperti ini tentu tidak mudah, apalagi masih sekolah dan memiliki adik-adik kecil yang harus dibimbing.
Setelah lulus SMU, saya membawa salah seorang adik, yang waktu itu masih SMP pindah ke kota Cirebon. Saat itu saya mendapat pekerjaan di sebuah pabrik, jadi bisa mendaftar ke sekolah bisnis dan mengambil kelas malam, khusus untuk karyawan. Ternyata, setelah berjalan tiga bulan, penghasilan saya tidak bisa menutupi biaya sehari-hari dan biaya sekolah adik.
Karena tidak ingin hanya mengandalkan ijazah SMU, saya tidak menyerah dan pindah ke kampus lain, yang waktunya lebih fleksibel. Saya mengambil kelas karyawan di Unswagati jurusan sastra Inggris, sambil bekerja di sebuah sekolah swasta sebagai tenaga administrasi. Sayangnya, lagi-lagi penghasilan saya ternyata masih belum cukup memenuhi seluruh kebutuhan hidup. Hal ini membuat saya sedih, karena itu berarti harus berhenti dari universitas dan kembali ke Bandung.
Terinspirasi dari nilai-nilai perjuangan Ibu Rd. Dewi Sartika, saya kembali bersemangat untuk sekolah. Saya mengambil program diploma jurusan komputer sekertaris, di sebuah sekolah komputer yang memiliki program beasiswa. Setiap tiga bulan sekali saya ikut test peringkat, dan berhasil menyelesaikan program diploma satu ini dengan beasiswa penuh. Tentu saja, tetap harus sekolah sambil bekerja. Karena bukan hanya saya sendiri yang membutuhkan biaya.
Tapi, kali ini pekerjaan saya tidak terikat. Saya menerima tawaran manggung di beberapa acara pernikahan, tampil menyanyi dan menjadi pembawa acara musik di televisi lokal, serta menjadi model di sebuah sekolah Seni Fotografi dan Disain. Selain itu, saya juga magang menjadi Sales Promotion Girl di perusahaan travel dan rokok.  
Saya tidak peduli lagi meski hidup kembali seperti dalam rumah kaca. Bukankah setiap orang bebas mengeluarkan pendapat? Meski saya tahu, ada yang keberatan dengan kehidupan saya, ada juga yang kagum melihat apa yang sudah saya lakukan untuk keluarga sejauh ini. Sukses tidak akan diraih tanpa kerja keras. Itu prinsip saya.
Berbekal ijazah diploma itu saya mendapat pekerjaan di sebuah perusahaan ekspor impor yang cukup terkenal di Bandung. Sayangnya, perusahaan tersebut akhirnya bangkrut. Jadi, saya masih harus mencari tambahan untuk biaya keluarga dan sekolah adik-adik yang bertambah besar.
Setelah perusahaan tutup, saya kembali terjun di dunia tarik suara. Karena kali ini saya sudah tidak terikat dengan sekolah maupun kuliah, saya ikut agensi yang mengirim penyanyi ke luar kota. Dengan berbekal nekat saya mulai merantau dari kota ke kota, dari pulau ke pulau, hingga hampir seluruh propinsi di Indonesia.
Tujuan saya hanya ingin menyekolahkan adik-adik hingga selesai dan bisa memenuhi kebutuhan pangan dan sandang mereka. Meski tanpa bantuan orang tua dan tanpa meminta pertolongan dari sanak saudara, kami harus mampu.
Syukurlah, masa-masa sulit itu kini sudah terlewati. Sekarang, saya sudah menikah dan memiliki usaha sendiri, bahkan bisa mengupah karyawan. Sementara adik-adik saya bukan hanya bisa bersekolah hingga lulus SMU, tapi mereka juga berjuang hingga tidak membutuhkan bantuan saya lagi untuk menyelesaikan gelar sarjana.
Ternyata, hidup seperti rumah kaca inilah yang bisa memberi inspirasi bagi sekeliling, terutama bagi orang-orang terdekat. Bukan hanya sekedar bicara, tapi menunjukkan pada mereka bagaimana cara kita berjuang dan tidak menyerah setiap menghadapi kenyataan yang tidak sesuai harapan. Kita harus bangkit lagi saat terpuruk, dan tetap semangat untuk maju.
Seperti sepeda roda dua, supaya hidup seimbang, kita harus sabar dan tetap bergerak hingga bisa sampai ke tujuan. Jadilah inspirasi, dan nikmatilah setiap prosesnya. Biarkan hidup mengalir hingga tiba ke garis akhir yang sesungguhnya. 
Hidup itu harus mengharapkan yang terbaik, meski harus bersiap menerima kenyataan yang terburuk.
                                           

Friday, September 28, 2018

LAWLESS - Sang Penegak Hukum

Sudah lama saya nggak buat review buku bacaan. Selain waktu baca yang berkurang karena maksain diri mengedit cerita Shalomita Secret dan Married Actually yang sudah tamat di Wattpad, saya juga ingin menyelesaikan The Whisper di Storial, Drop Dead Jill yang ganti genre dan judul (masih dipikirkan judul lainya), dan Beautifull Neighbour yang ienya tiba-tiba menguap.

Pusing, kan, kalau jadi manusia?
Banyak keinginan, banyak prasangka, banyak harapan, banyak PHP, banyak kasihan, dan banyak keperluan. Haha ...
Ini semua nggak ada hubungannya sama hobby menulis, apalagi membaca!

Kadang-kadang, kalau lagi bete dan mood nggak jelas, saya langsung cari buku yang menghibur. Biasanya antara komedi dan romance. Kalau komedi seru, bikin ketawa. Kalau romance ya ... tau sendiri lah!

Begitu juga dengan yang terjadi kemarin. Sambil mikirin ide-ide baru buat Pluk me dan artikel parenting yang sebentar lagi terbit, saya baca bukunya Diana Palmer, salah satu dari sekian banyak seri Harlequin. Uhuk ... uhuk ... (jadi ini toh bacaannya! haha ...)
Setelah gagal move on dari novel Origin, saya memutuskan mencari hal-hal yang romantis dari novel ini.
Judul      : Lawless (Terjemahan: Sang Penegak Hukum)
Penulis   : Diana Palmer (Harlequin)
Penerbit  : GPU
Tahun     : 2009
Tebal      : 416 halaman 18 CM

Kisah Crissy, alias Christabel Gaines yang terpaksa menikah dengan Judd Dunn (bukan Jedunn ya ...) demi menyelamatkan peternakannya. Crissy waktu itu masih berusia enam belas tahun, sementara Judd memenjarakan ayahnya karena kebrutalan pria itu terhadap Crissy.
Judd berjanji akan mengajukan pembatalan pernikahan setelah gadis itu berusia 21 tahun. Tapi, selama lima tahun Crissy justru berharap Judd mencintainya, karena gadis itu jatuh cinta pada Judd, walaupun Judd tidak menunjukkan ketertarikannya pada Crissy.

Semua itu berubah dengan kehadiran Cash Grier dan seorang model internasional Tippy Moore dalam rumah tangga mereka.
Apakah Crissy bisa memenangkan hati Judd, atau justru jatuh cinta pada Cash? Lalu, bagaimana sebenarnya hubungan antara Judd dan supermodel Tippy?

Silakan baca kelanjutannya ^_^





 

 

Tuesday, September 4, 2018

Semalam di Venetian Macao



Saya ingin membagi sedikit pengalama saat menginap semalam di hotel Venetian, Macao tahun 2011. Tentu saja itu kurang up to date untuk tahun 2018 ini. Tapi, karena itu merupakan salah satu kenangan yang sulit dilupakan, saya hanya ingin menceritakan pengalaman ini hanya sebagai hiburan saja.
  Bagi para pecinta traveling, hotel Venetian Macao tentu sudah tidak asing lagi. Hotel megah dengan berbagai fasilitas berkelas ini jelas akan membuat betah siapa saja. Begitupun dengan saya. Rasa penasaran dan ingin tahu seperti apa rasanya menginap disini membawa keluarga kami ke Macao. Rombongan kami terdiri dari saya, suami, kedua anak saya, kedua mertua saya, keluarga adik ipar saya dan kedua anaknya..

Kami bersepuluh tiba di Macao dengan menyeberang menggunakan ferry dari China. Memang jarak antara China dan Macao tidak terlalu jauh, hanya sekitar 145 Kilometer dari Guang Zhou. Karena Macao adalah daerah administrasi khusus Tiongkok, kami harus menunjukkan paspor pada saat menyeberang. Setiba di Macao, kami dijemput menggunakan shuttle bus gratis di terminus Maritimo. Begitu memasuki kawasan hotel, kami hampir tidak bisa berkedip melihat pemandangan yang begitu indah dan mewah.

Mulai masuk pintu lobby utama, kami disuguhi hiasan dan ornament khas Italia dengan warna kuning keemasan. Lambang hotel Venetian sendiri berdiri dengan megahnya di tengah-tengah. Lukisan khas Italia juga tersebar di langit-langit
Kami menyewa tiga kamar, satu kamar untuk tiap keluarga. Kamar saya memiliki dua tempat tidur besar, sehingga muat untuk empat
orang. Kamar kami dilengkapi dengan dua buah televisi, satu di bagian tengah antara kedua tempat tidur, satu lagi di bagian yang menjadi ruang tamu. Kamar mandi disini cukup luas, lengkap dengan bathub dan meja rias.  

Setelah melepas lelah, tentu saja kami tak mau melewatkan keindahan kota Macao yang dijuluki “Vegas of The East” ini. Tempat pertama yang kami datangi adalah City of Dreams, sebuah komplek resort yang memiliki tiga hotel berbintang lima bersama toko-toko dan mega kasino. Disana kami menyaksikan film 3D Dragons treasure di theatre “The Bubble,” yang merupakan salah satu theatre yang dimilikinya selain The Dancing Watter Theatre. Bentuk layar The Bubble bulat 360 derajat (Vquarium). Kami menonton dengan berdiri di tengah-tengah, film yang berlangsungpun terlihat lebih hidup karena layarnya yang bulat mengelilingi kami.
Dari situ, kami berjalan-jalan di Senado Square, landmark-nya kota Macao. Nama-nama jalan di Macao memang banyak menggunakan bahasa Portugis, dengan awalan Rua (jalan standar) dan Avenida (jalan yang memiliki dua jalur atau lebih). Macao sendiri dulunya adalah Negara jajahan Portugis dan baru diserahkan ke Tiongkok pada tahun 1999. Itulah sebabnya Macao memiliki kebudayaan yang tercampur antara Portugis dan China. Begitupun  bahasa yang digunakan. Tetapi karena penduduk Macao 90% berbahasa Canton, maka bahasa yang digunakan lebih banyak adalah bahasa Canton.


Senado Square adalah lapangan yang dirancang dengan gaya Portugis, lengkap dengan façade, gedung-gedung  yang warna dan modelnya klasik khas spanyol. Begitu juga dengan pavement (batu lantai) yang disusun dengan indah. Di lokasi ini terdapat Ruin of St Paul’s, reruntuhan gereja St Paul yang terkenal itu. Setelah puas berjalan-jalan, akhirnya kami kembali ke hotel.   

Hotel Venetian dibangun menyerupai kota Venesia, lengkap dengan kanal dan gondolanya. Kanal ini terletak di tengah area pusat perbelanjaan di dalam hotel dengan berhiaskan langit yang selalu cerah. Ya, langit yang terlihat adalah langit buatan yang dilukis dengan indah sehingga selalu terlihat cerah.
Selain pertokoan, di area ini juga terdapat food cort dengan beraneka ragam makanan dengan menu dalam dan luar negeri. Jadi, kita tinggal memilih makanan apa yang sesuai dengan selera kita. Bila rindu dengan masakan Indonesia, kita bisa mencoba masakan khas Malaysia yang rasanya hampir sama dengan masakan Indonesia.



Setelah puas menjelajah makanan dan pertokoan, kami bersiap untuk beristirahat. 

Eit, tunggu dulu. Rasanya tidak afdol kalau menginap di hotel ini tanpa mencoba peruntungan di kasino. Sayangnya anak-anak tidak diperbolehkan masuk. Terpaksa saya membawa anak-anak ke kamar untuk beristirahat sementara suami, adik ipar dan orang tuanya melanjutkan petualangan di kasino.

Pagi hari setelah breakfast, suami dan keluarganya kembali mengunjungi kasino. Saya dan anak-anak menikmati fasilitas lainnya di hotel ini, yaitu berenang. Tentu saja mereka menikmati kolam renangnya yang jernih, apalagi musim panas. Segar sekali rasanya. Dari sini saya membawa anak-anak ke Qube, area bermain khusus anak-anak. Berbagai permainan bisa mereka mainkan. Mulai dari permainan elektronik, ketangkasan dan keahlian juga ada. Pertama-tama, untuk memasuki area Qube, anak-anak diwajibkan memakai baju khusus. Yaitu sepasang baju dan celana training serta dilengkapi dengan kaos kaki.

Siangnya kami kembali menikmati suasana di kanal dan cuci mata di pertokoan dalam hotel. Kami juga berkeliling melihat beberapa bagian hotel yang belum sempat kami kunjungi dan nikmati. Di hotel sebesar ini, waktu memang terasa sangat singkat. Kami harus checkout hari ini dan melanjutkan perjalanan ke Hongkong.

Sehari di hotel Venetian Macao memang membuat kami lupa diri. Tempat tidur yang nyaman, fasilitas yang mewah, permainan yang menarik, acara-acara yang memuaskan, semua jadi satu. Tidak salah kami memilih menginap di hotel ini. Walaupun membawa keluarga besar yang memiliki minat dan hobby yang berbeda-beda,  kami bisa menikmatinya bersama-sama.

Sedikit tips sederhana dari saya bila ingin nyaman berlibur di tempat ini ialah:
Siapkan sambal. Keluarga saya adalah penggemar makanan pedas. Masakan di Macao dan di China bagi kami terasa kurang pedas. Jadi, untuk menambah selera makan sebaiknya kita membawa sambal atau bumbu rendang sendiri. Tapi bila Anda sudah terbiasa dengan makanan yang tidak pedas tentu sambal bukan masalah penting.

 Bawalah selalu minuman kemasan, lebih tepatnya botol minuman. Ini khusus buat kita yang tidak biasa ke toilet hanya dengan menggunakan tissue. Macao, seperti halnya Negara lain yang maju, mereka hanya menggunakan tissue untuk di toilet. Buat kita yang terbiasa menggunakan air, mungkin akan sedikit kesulitan untuk beradaptasi.

Bila tidak ingin menghabiskan uang di Kasino, bawalah secukupnya saja. Sebaiknya kalau sudah habis  jangan ditambah lagi, kecuali kalau memang datang hanya untuk menghabiskan uang.
Untuk menghemat biaya penginapan, bila kita datang lebih pagi dan hanya ingin menginap semalam saja, lebih baik check-in dilakukan sore hari. Barang bawaan bisa dititipkan sementara atau kalau hanya sedikit bisa kita bawa saja hingga tiba waktu check-in.

Mata uang Macao adalah MOP (Macanese Pataca), tapi di Macao kita bisa menggunakan Dollar Hongkong dan Chinesse Yuan dengan nilai tukar yang dianggap sama. Karena nilai tukar CNY (yuan) ke IDR lebih tinggi sekitar 500 Rupiah dibandingkan MOP, lebih baik bila memiliki mata uang Macao pergunakan saja MOP.

Hati-hati bila Anda seorang  perokok. Macao adalah Negara pusat perjudian di Asia, tapi pemerintah mengenakan denda 600 MOP (sekitar 997.000 rupiah) kepada para perokok. Dan bila menolak membayar dendanya tentu akan dipersulit bila akan kembali ke Macao.

Itulah pengalaman yang kami dapatkan dengan menginap selama semalam di hotel Venetian Macao. Cukup menyenangkan, bukan? Bahkan, kami yang datang dengan tiga generasi, bisa menikmati semua fasilitas yang ditawarkan bersama-sama. Rasanya kami ingin mengulanginya lagi. Kami berencana akan kembali berlibur di sana. Bagaimana dengan Anda?


Foto diambil dari Tripadvisor
foto diambil dari Wikipedia
foto diambil dari blog Booking.com

file diambil dari Venetian Macao



Friday, April 27, 2018

CINTA PERTAMA BIDADARI

"Kamu serius, Sha?" Jaka mendesaknya. Tapi tekad gadis itu sudah bulat. Shasha mengangguk perlahan. Baginya semua sudah tidak berarti. Pria itu banyak berubah sejak Komar kembali ke desanya. Bagi Shasha, Jaka sudah tidak berbeda dengan manusia lainnya. Penuh dengan khayalan untuk hidup senang dan bahagia tanpa mau berusaha. Jaka sudah berhenti pergi ke sawah, karena tahu Shasha akan menyiapkan makanan untuknya dengan sekali tepukan tangan. Pria itu juga tidak lagi mau berjualan, karena kendi tanah liat di samping ranjangnya selalu penuh dengan uang. Gubuk reot mereka kini sudah menjadi istana, begitu megah dan indah.

Shasha menarik napas panjang. Sebenarnya, ini adalah pilihan yang cukup berat baginya. Tapi, semakin lama Jaka menjadi semakin malas dan tidak menarik. Dia harus meninggalkan pemuda itu sebelum para Dewa di kahyangan memintanya bertanggung jawab. 
     
"Maafkan aku, Ka. Tugasku ke dunia bukan untuk membuat pemuda-pemuda rajin dan tampan sepertimu menjadi om-om gendut yang kerjanya hanya tidur-tiduran, tapi berharap tetap kaya raya. Apa kamu sudah menimbang berat badanmu sekarang?" Shasha menatap tajam pemuda di hadapannya.
   
"Sha, mari kita #negosiasi dulu, pikirkan baik-baik sebelum kau menyesal pergi dari istana ini," rengek Jaka.

"Ini istanamu, Ka, bukan milikku. Aku harus kembali ke istanaku sendiri dan mengembalikan semua yang kupinjam dari para Dewa untuk membantumu." Shasha mencoba melepaskan genggaman tangan pria itu. Hatinya sedih, matanya memerah dan bibirnya bergetar. Bagaimanapun, Jaka adalah cinta pertamanya, pemuda pertama yang pernah mengintipnya mandi.

"Baiklah, Sha, aku mengerti." Jaka menarik napas panjang. Wajahnya yang sendu perlahan-lahan kembali tersenyum. "Komar pernah bercerita tentang saudara-saudaramu yang lain, Dewi dan Seruni. Tolong kenalkan saja aku pada mereka," pinta Jaka memelas.

Tanpa sepatah kata, Shasha naik ke angkasa meninggalkan pemuda itu, Jaka Tarub, cinta pertama yang sudah mematahkan hatinya.